Sunday, 16 October 2016

PERSPEKTIF POLITIK ISLAM DALAM MEWUJUDKAN CIVIL SOCIETY



Oleh: Wisnu Prawijaya*)


Religi dan Kultural sebagai Basis Politik di Indonesia
Indonesia merupakan negara yang dikategorikan sebagai masyarakat majemuk. Konsekuensi dari adanya multikulturalisme di Indonesia menyebabkan adanya dominasi politik untuk menyatukan masyarakat. Arah budaya politik di Indonesia didominasi oleh dua aspek yaitu faktor religi dan kultural. Faktor religi menjadi salah satu budaya politik yang lebih mengedepankan faktor agama sebagai pilihan politik masyarakat, sedangkan faktor kultural mengedepankan nilai budaya sebagai basis politik.
Kondisi politik di Indonesia saat ini berada dalam fase yang memprihatinkan. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh etika dan sistem politik kepartaian yang membentuk kubu-kubu dan saling serang demi memperebutkan kekuasaan dalam sistem pemerintahan. Mirisnya perebutan kekuasaan itu hanya untuk kepentingan golongan tertentu bukan kemaslahatan umat. Faktor-faktor penyebab masalah yang terjadi dalam sistem politik di Indonesia antara lain kurangnya rasa persatuan sebagai masyarakat, mengedepankan golongan serta kurangnya sikap saling menghargai antar-individu. Tujuan dari penulisan makalah ini adalah memberikan kajian tentang etika politik Islam di Indonesia.

Kajian tentang Politik Islam
Perkataan politik berasal dari bahasa Latin politicus dan bahasa Yunani politicos, artinya sesuatu yang berhubungan dengan warga negara atau warga kota. Kedua kata itu berasal dari kata polis yang maknanya kota. Dalam teori politik islam, politik itu identik dengan siyasah secara bahasa disebut dengan mengatur. Politik artinya segala urusan dan tindakan, kebijakan, dan siasat mengenai pemerintahan suatu negara atau kebijakan suatu negara terhada negara-negara lain. Politik dapat juga dikatakan kebijakan atau cara bertindak suatu negara dalam menghadapi/menangani suatu masalah.
Politik Islam terdiri dari dua aspek yaitu politik dan islam. Politik berarti suatu cara bagaimana penguasa mempengaruhi perilaku kelompok yang dikuasai agar sesuai ddengan keinginan penguasa. Sedangkan Islam berarti penataan dan Islam sebagai din merupakan organisasi penataan menurut ajaran Allah , yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Politik Islam dapat diartikan sebagai suatu cara untuk mempengaruhi anggota masyarakat, agar berprilaku sesuai dengan ajaran Allah menurut sunah rasulnya. Dalam konsep islam, kekuasaan tertinggi adalah Allah SWT. Ekspresi kekuasaan Allah tertuang dalam Al-Qur’an menurut sunah rasul (Rennyse, 2013:1).
Prinsip-prinsip politik Islam, terkait dengan kepemimpinan ditinjau dari perspektif Al-Qur’an dan Hadits bisa jelaskan seperti berikut ini:
a.       Tidak memilih orang kafir sebagai pemimpin (QS. An-Nisa’ (4):144)
b.      Pemimpin haruslah orang yang dapat diterima, sebagaimana dijelaskan dalam Hadits: “Sebaik-baik pemimpin adalah mereka yang kamu cintai dan mencintai kamu, kamu berdoa untuk mereka dan mereka berdoa untukmu. Seburuk-buruk pemimpinmu adalah mereka yang kamu benci dan mereka membencimu, kamu laknati mereka dan mereka melaknati kamu” (HR. Muslim).
Istilah politik selalu erat dengan kepemimpinan, Salahudin Sanusi (dalam Ajat Sudrajat, 2013:110) merumuskan dasar-dasar kepemimpinan dalam Islam sebagai berikut:
a.       Dalam melaksanakan kepemimpinan ia harus selalu bermusyawarah untuk mengambil suatu keputusan (QS. Al-Syura (42):38).
b.      Kepemimpinan itu merupakan amanat, tugas, atau kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pemimpin, sebagaimana sabda nabi: “Sesungguhnya kepemimpinan itu adalah amanat dan sesungguhnya pada hari kiamat kepemimpinan itu merupakan malu dan penyesalan, kecuali orang yang mengambilnya dengan hak serta melaksanakan tugas dan kewajiban” (HR. Muslim).

Etika Politik Islam di Indonesia
Jika kita perhatikan semenjak era reformasi yang serba boleh ini, kemunduran etika politik para elite dalam setiap jejak perjalanannya membuat kita menjadi “miris”. Sikap pragmatisme dalam perilaku politik yang hanya mementingkan individualisme dan kelompoknya saja. Kepentingan bangsa, menurut mereka bisa dibangun hanya melalui kelompoknya. Dan masing-masing kelompok berpikir demikian.
Jika kondisinya seperti itu, maka akan muncul pertanyaan; Ke arah manakah etika politik akan dikembangkan oleh para politisi produk reformasi ini? Etika politik dalam Islam mempunyai ciri-ciri tersendiri yang membedakannya dengan etika lain. Etika Qur’ani sekurang-kurangnya mempunyai lima ciri utama: pertama, rabbani; kedua, manusiawi; ketiga, universal; keempat, keseimbangan; dan kelima, realistik. Dalam praktik keseharian, politik seringkali bermakna kekuasaan yang serba elitis, dari pada kekuasaan yang berwajah populis dan untuk kesejahteraan masyarakat. Politik identik dengan cara bagaimana kekuasaan diraih, dan dengan cara apa pun, meski pertentangan dengan pandangan umum.
Ada tiga tujuan yang hendak dicapai dari etika politik, yaitu terciptanya kehidupan bersama dan untuk orang lain secara baik (to be a constituent in a ”‘good life’ with and for others); memperluas ruang lingkup kebebasan baik dan bertanggung jawab; dan membangun institusii-nstitusi yang adil (just institutions). (Amelia Hani Fazrina, 2013:11). Ketiga alat ukur etika politik ini dapat diimplementasikan melalui pembacaan terhadap perilaku politik seluruh warga negara, khususnya kaum elit negeri kita.
Kritik, kontrol, dan segala macam input untuk negara harus diletakkan dalam kerangka kebaikan bersama. Bukan dalam rangka mendapatkan ”durian runtuh”. Eksistensi kepemimpinan melalui konsensus lima tahunan harus didukung dan ditoleransi selama berada dalam koridor kebersamaan. Begitupun kontrol yang dilakukan oleh rakyat terhadap legislatif, yudikatif dan eksekutif atau control yang dilakukan oleh legislatif terhadap eksekutif harus mengacu pada kepentingan bersama rakyat, bukan pada lembaga. Dengan cara seperti itu, maka Negara kita akan menjadi Negara dengan “religious state” yang memperhatikan nilai-nilai agama dalam hal ini agama Islam.
Dengan cara seperti itu, maka yang biasanya dikenal bahwa politik itu kotor, korup, kejam, tak manusiawi, dipenuhi dengan taktik dan intrik demi merebut dan mempertahankan kekuasaan. Saling menyikut bahkan terhadap teman sekalipun, karena dalam politik tidak ada pertemanan abadi, yang abadi hanyalah kepentingan bisa dibenahi menjadi baik dan mulia.
Etika terkait dengan hakikat kebaikan dan keburukan. Etika menjadi penjelas bagi kita semua bahwa ada perbuatan yan digolongkan baik dan ada yang buruk. Dengan demikian, maka etika politik juga menjelaskan tentang mana politik yang baik dan mana yang buruk. Kewajiban kita sebagai orang yang memiliki religiositas adalah mengikuti politik yang baik dan menjauhi politik yang buruk.
           
Kesimpulan
Melihat perkembangan realita politik dan tingkah laku para elit politik kita yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini sudah jauh melanggar etika berpolitik yang sebenarnya. Hal ini terjadi karena mereka lebih mengutamakan faktor-faktor kepentingan yang sifatnya sesaat bukan yang hakiki. Kepentingan individu atau kelompok lebih ditanamkan dan terkesan melupakan kepentingan seluruh masyarakat Indonesia. Karena itu, mudah-mudahan pendidikan etika politik Islam bisa menjadi obat untuk mengarahkan kepada yang lebih baik.
Dunia pendidikan sebagai salah satu lembaga pendidikan yang mencerdaskan generasi bangsa dan disitu negara Indonesia menggantungkan harapannya, mudah-mudahan selalu menjaga independensi dari kepentingan politik dan tentunya harus selalu memperjuangkan pendidikan politik yag berbudi.

*) mahasiswa 

Daftar Pustaka

Fazrina, Amelia Hani. Etika Politik Dalam Perspektif Agama Islam. Journal.

Rennyse. 2013. Pengertian Politik Islam. http://rennyse.blogspot.co.id/2013/03/ pengertian-politik-islam.html, diakses pada tanggal 12 September 2015, pukul 13:15 WIB.

Srijanti. 2009. Pendidikan Kewarganegaraan untuk Mahasiswa. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Ubaedillah, A. dan Abdul Rozak. 2003. Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Civic society. Jakarta:  ICCE UIN Syarif Hidayatullah.

No comments:

Post a Comment