Oleh: Wisnu Prawijaya*)
Religi dan
Kultural sebagai Basis Politik di Indonesia
Indonesia merupakan negara yang
dikategorikan sebagai masyarakat majemuk. Konsekuensi dari adanya multikulturalisme
di Indonesia menyebabkan adanya dominasi politik untuk menyatukan masyarakat.
Arah budaya politik di Indonesia didominasi oleh dua aspek yaitu faktor religi
dan kultural. Faktor religi menjadi salah satu budaya politik yang lebih mengedepankan
faktor agama sebagai pilihan politik masyarakat, sedangkan faktor kultural
mengedepankan nilai budaya sebagai basis politik.
Kondisi politik di Indonesia saat ini
berada dalam fase yang memprihatinkan. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh etika
dan sistem politik kepartaian yang membentuk kubu-kubu dan saling serang demi
memperebutkan kekuasaan dalam sistem pemerintahan. Mirisnya perebutan kekuasaan
itu hanya untuk kepentingan golongan tertentu bukan kemaslahatan umat.
Faktor-faktor penyebab masalah yang terjadi dalam sistem politik di Indonesia
antara lain kurangnya rasa persatuan sebagai masyarakat, mengedepankan golongan
serta kurangnya sikap saling menghargai antar-individu. Tujuan dari penulisan
makalah ini adalah memberikan kajian tentang etika politik Islam di Indonesia.
Kajian tentang
Politik Islam
Perkataan politik berasal dari bahasa
Latin politicus dan bahasa Yunani politicos, artinya sesuatu yang berhubungan
dengan warga negara atau warga kota. Kedua kata itu berasal dari kata polis
yang maknanya kota. Dalam teori politik islam, politik itu identik dengan siyasah secara bahasa disebut dengan
mengatur. Politik artinya segala urusan dan tindakan, kebijakan, dan siasat
mengenai pemerintahan suatu negara atau kebijakan suatu negara terhada
negara-negara lain. Politik dapat juga dikatakan kebijakan atau cara bertindak suatu
negara dalam menghadapi/menangani suatu masalah.
Politik Islam terdiri dari dua aspek
yaitu politik dan islam. Politik berarti suatu cara bagaimana penguasa
mempengaruhi perilaku kelompok yang dikuasai agar sesuai ddengan keinginan
penguasa. Sedangkan Islam berarti penataan dan Islam sebagai din merupakan
organisasi penataan menurut ajaran Allah , yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Politik
Islam dapat diartikan sebagai suatu cara untuk mempengaruhi anggota masyarakat,
agar berprilaku sesuai dengan ajaran Allah menurut sunah rasulnya. Dalam konsep
islam, kekuasaan tertinggi adalah Allah SWT. Ekspresi kekuasaan Allah tertuang
dalam Al-Qur’an menurut sunah rasul (Rennyse, 2013:1).
Prinsip-prinsip politik Islam, terkait
dengan kepemimpinan ditinjau dari perspektif Al-Qur’an dan Hadits bisa jelaskan
seperti berikut ini:
a.
Tidak
memilih orang kafir sebagai pemimpin (QS. An-Nisa’ (4):144)
b.
Pemimpin
haruslah orang yang dapat diterima, sebagaimana dijelaskan dalam Hadits:
“Sebaik-baik pemimpin adalah mereka yang kamu cintai dan mencintai kamu, kamu
berdoa untuk mereka dan mereka berdoa untukmu. Seburuk-buruk pemimpinmu adalah
mereka yang kamu benci dan mereka membencimu, kamu laknati mereka dan mereka
melaknati kamu” (HR. Muslim).
Istilah politik selalu erat dengan kepemimpinan,
Salahudin Sanusi (dalam Ajat Sudrajat, 2013:110) merumuskan dasar-dasar
kepemimpinan dalam Islam sebagai berikut:
a.
Dalam
melaksanakan kepemimpinan ia harus selalu bermusyawarah untuk mengambil suatu
keputusan (QS. Al-Syura (42):38).
b.
Kepemimpinan
itu merupakan amanat, tugas, atau kewajiban yang harus dilaksanakan oleh
pemimpin, sebagaimana sabda nabi: “Sesungguhnya kepemimpinan itu adalah amanat
dan sesungguhnya pada hari kiamat kepemimpinan itu merupakan malu dan
penyesalan, kecuali orang yang mengambilnya dengan hak serta melaksanakan tugas
dan kewajiban” (HR. Muslim).
Etika Politik Islam
di Indonesia
Jika kita perhatikan semenjak era
reformasi yang serba boleh ini, kemunduran etika politik para elite dalam
setiap jejak perjalanannya membuat kita menjadi “miris”. Sikap pragmatisme
dalam perilaku politik yang hanya mementingkan individualisme dan kelompoknya
saja. Kepentingan bangsa, menurut mereka bisa dibangun hanya melalui
kelompoknya. Dan masing-masing kelompok berpikir demikian.
Jika kondisinya seperti itu, maka
akan muncul pertanyaan; Ke arah manakah etika politik akan dikembangkan oleh
para politisi produk reformasi ini? Etika politik dalam Islam mempunyai
ciri-ciri tersendiri yang membedakannya dengan etika lain. Etika Qur’ani
sekurang-kurangnya mempunyai lima ciri utama: pertama, rabbani; kedua,
manusiawi; ketiga, universal; keempat, keseimbangan; dan kelima, realistik. Dalam
praktik keseharian, politik seringkali bermakna kekuasaan yang serba elitis,
dari pada kekuasaan yang berwajah populis dan untuk kesejahteraan masyarakat.
Politik identik dengan cara bagaimana kekuasaan diraih, dan dengan cara apa
pun, meski pertentangan dengan pandangan umum.
Ada tiga tujuan yang hendak dicapai
dari etika politik, yaitu terciptanya kehidupan bersama dan untuk orang lain
secara baik (to be a constituent in a
”‘good life’ with and for others); memperluas ruang lingkup kebebasan baik
dan bertanggung jawab; dan membangun institusii-nstitusi yang adil (just institutions). (Amelia Hani
Fazrina, 2013:11). Ketiga alat ukur etika politik ini dapat diimplementasikan
melalui pembacaan terhadap perilaku politik seluruh warga negara, khususnya
kaum elit negeri kita.
Kritik, kontrol, dan segala macam
input untuk negara harus diletakkan dalam kerangka kebaikan bersama. Bukan
dalam rangka mendapatkan ”durian runtuh”. Eksistensi kepemimpinan melalui
konsensus lima tahunan harus didukung dan ditoleransi selama berada dalam
koridor kebersamaan. Begitupun kontrol yang dilakukan oleh rakyat terhadap
legislatif, yudikatif dan eksekutif atau control yang dilakukan oleh legislatif
terhadap eksekutif harus mengacu pada kepentingan bersama rakyat, bukan pada
lembaga. Dengan cara seperti itu, maka Negara kita akan menjadi Negara dengan
“religious state” yang memperhatikan nilai-nilai agama dalam hal ini agama
Islam.
Dengan cara seperti itu, maka yang
biasanya dikenal bahwa politik itu kotor, korup, kejam, tak manusiawi, dipenuhi
dengan taktik dan intrik demi merebut dan mempertahankan kekuasaan. Saling
menyikut bahkan terhadap teman sekalipun, karena dalam politik tidak ada
pertemanan abadi, yang abadi hanyalah kepentingan bisa dibenahi menjadi baik
dan mulia.
Etika terkait dengan hakikat
kebaikan dan keburukan. Etika menjadi penjelas bagi kita semua bahwa ada
perbuatan yan digolongkan baik dan ada yang buruk. Dengan demikian, maka etika
politik juga menjelaskan tentang mana politik yang baik dan mana yang buruk.
Kewajiban kita sebagai orang yang memiliki religiositas adalah mengikuti
politik yang baik dan menjauhi politik yang buruk.
Kesimpulan
Melihat perkembangan realita
politik dan tingkah laku para elit politik kita yang terjadi di Indonesia
akhir-akhir ini sudah jauh melanggar etika berpolitik yang sebenarnya. Hal ini
terjadi karena mereka lebih mengutamakan faktor-faktor kepentingan yang
sifatnya sesaat bukan yang hakiki. Kepentingan individu atau kelompok lebih
ditanamkan dan terkesan melupakan kepentingan seluruh masyarakat Indonesia.
Karena itu, mudah-mudahan pendidikan etika politik Islam bisa menjadi obat
untuk mengarahkan kepada yang lebih baik.
Dunia pendidikan sebagai salah satu
lembaga pendidikan yang mencerdaskan generasi bangsa dan disitu negara
Indonesia menggantungkan harapannya, mudah-mudahan selalu menjaga independensi
dari kepentingan politik dan tentunya harus selalu memperjuangkan pendidikan
politik yag berbudi.
*) mahasiswa
Daftar
Pustaka
Fazrina, Amelia Hani. Etika Politik
Dalam Perspektif Agama Islam. Journal.
Rennyse. 2013. Pengertian Politik Islam.
http://rennyse.blogspot.co.id/2013/03/ pengertian-politik-islam.html, diakses pada tanggal
12 September 2015, pukul 13:15 WIB.
Srijanti. 2009. Pendidikan Kewarganegaraan untuk Mahasiswa. Yogyakarta: Graha Ilmu.
EmoticonEmoticon